INTERTEKSTUALITAS DALAM PENCIPTAAN TEATER “SANGKU MENCARI RIANG”
Abstract
“Sangku Mencari Riang” adalah cerita yang mempertemukan tokoh Sangkuriang dari Sunda dengan tokoh Oidipus dari Yunani Klasik. Cerita ini dibuat sebagai lanjutan dari cerita rakyat Sangkuriang dari Sunda dengan cerita tragedi dari Yunani karya Sophocles yaitu Oidipus Sang Raja. Melalui kajian intertekstualitas cerita ini menjadi tafsir baru, makna baru dalam sebuah cerita baru “Sangku Mencari Riang”.
“Sangku Mencari Riang” ini bercerita tentang Sangku dan Oidipus bertemu di suatu tempat antah berantah, lalu keduanya menceritakan petualangan masing-masing yang tidak membahagiakan sebelumnya. Cerita mereka memang berbeda, kultur merekapun berbeda namun peristiwa hidup mereka memiliki kesamaan yaitu membunuh bapak dan mengawini ibu kandungnya sendiri yang dianggap sebagai sebuah takdir dan nasib yang digariskan oleh Dewata, padahal peristiwa itu terjadi atas ketidaksengajaan dan ketidaktahuan mereka. Setelah keduanya saling mengetahui bahwa keduanya memiliki kesamaan kisah dari cerita mereka sebelumnya, maka keduanya berniat untuk melakukan protes dan memberontak pada Dewata di Kahyangan. Sangku dan Oidipus kini menjadi satu kesatuan yang satu, satu dalam dua, dua dalam satu, yakni “Sangku“ yang berarti “Sang Aku” yang akan menuntut perubahan nasib dan takdir mereka menjadi lebih baik, sebuah jalan yang dipilih dengan memberontak sang nasib dan takdir untuk mencapai kebenaran dalam meraih kebahagiaan. Merekapun melakukan perjalanan spiritual yang melelahkan untuk mencapai Kahyangan, setelah tiba di pintu gerbang kahyangan mereka di hadang oleh makhluk yang menyerupai Siluman (Sunda) dan Titan (Yunani), terjadilah perkelahian sengit sebagai simbol dari pertarungan diri Sangku dan Oidipus dengan hawa nafsunya sendiri, Sangku dan Oidipus kalah. Munculah Sang Hyang dan Zeus sebagai simbol dari penguasa alam yang menentukan takdir dan nasib manusia. Kedua Dewata itu lalu memberikan pesan bahwa takdir itu adalah sebuah kepastian yang sudah digariskan dan manusia tidak bisa menghindar darinya (kemutlakan), sementara nasib masih mungkin di ubah sepanjang manusia itu sanggup untuk mengubahnya, salah satu caranya dengan mengalahkan nafsu serakah yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Cerita ini akan dipagelarkan dengan pendekatan konsep teater rakyat dari Sunda yang memiliki dinamika struktur yang fleksible dan dinamis. Konsep ini akan dipadu dengan beberapa unsur yang ada di dalam konvensi teater Yunani Klasik, yang di dalamnya terdapat peran Kor dengan kata-kata puitis pada setiap dialognya, juga penggunaan media topeng yang memberikan kesan penajaman karakter, ritualistik dan pandangan estetik bagi penonton. Sehingga kedua konsep ini akan memberikan ruang perspektif baru dalam karya penciptaan seni teater. Maka hasil dari kolaborasi kedua konsep ini akan terlihat sebuah pertunjukan dengan kekuatan-kekuatan musikal, tematik yang esensial, estetika visual, dinamika oral, sehingga memunculkan daya tarik bagi penonton.
Keywords
Full Text:
PDFDOI: http://dx.doi.org/10.30870/jpks.v1i1.854
Refbacks
- There are currently no refbacks.
View My StatsThis work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License. Copyright @Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. All right reserved p-ISSN 2503-4626 | e-ISSN 2528-2387