KISAH KALISTA, BAHASA, DAN PANCASILA
Abstract
.. di suatu event “adu” cantik-cantikan, Kalista Iskandar, perempuan berumur 21 tahun, peserta dari Sumatera Barat diminta menyebutkan sila-sila dalam Pancasila …”Nomor satu…nomor kedua…nomor tiga…nomor empat, kemasyarakatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan… kelima, Kemanusiaan sosial yang adil dan beradab”. Sejenak, kalimat Kalista menggegerkan dunia maya dan meninggalkan jejak digital yang masih akan terus mendapat viewer.
Bagi semua warga negara Indonesia, lima sila dalam Pancasila itu paten, deretan kata per kata yang sakti maka tidak boleh ditukar-tukarkan posisinya. Mungkin Kalista orang pertama yang di depan publik menggunakan sebutan sila dengan nomor, tidak bermaksud menggantikan sih, hanya kosakata ‘nomor’ digunakan menunjuk pada tuturan yang hendak disampaikan tapi tak sampai, maksudnya pasti “nomor satu, berarti sila pertama.” Ehm... tapi begitu tidak boleh, “sila adalah sila dan nomor adalah nomor, itu dua hal berbeda” begitu argumen warga net menyoraki keramaian yang ditimbulkan bahasa Kalista, ehm tuturan Kalista. Apakah nomor dan urutan itu setali dua makna? Ataukah sila menunjuk pada urutan atau menunjuk pada bentuk proposisi itu? Metode apa yang bisa menjawab pertanyaan ini?
Full Text:
PDFReferences
Bochenski, 1972. Contemporary European Philosophy. Barkeley: University of California Press
Martin Heidegger, 1973. Being and Time. Oxford: Basil Blackwell
Martin Heidegger, 1982. The Basic Problems of Phenomenology. Bloomington: Indiana University Press
Paul Ricoeur, 1974. The Conflict of Interpretation. Evanstone: Northwestern University Press
Pierre Bourdieu. 2007, The Language and Symbolic Power. Malden: Polity Press
DOI: http://dx.doi.org/10.30870/jmbsi.v5i1.8076
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2020 Jurnal Membaca Bahasa dan Sastra Indonesia