Menjejak Keseharian Etnis Tionghoa Madiun 1966’an-2000’an
Abstract
ABSTRAK
Tulisan ini dibuat untuk mengetahui bagaimana konstruksi ulang identitas yang ditampilkan komunitas Tionghoa Madiun setelah pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru. Rentang waktu yang digunakan adalah 1966’an hingga 2000’an. Tahun 1966’an sebagai penanda secara kultural adanya pemaksaan untuk unifikasi orang-orang Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia. Sementara tahun 2000’an adalah masa reformasi yang diyakini sebagai penanda kebebasan orang-orang Tionghoa dalam berbagai aktivitas di masyarakat, yang ditandai dengan simbolisasi K.H. Abdurrahman Wahid sebagai bapak Tionghoa.
Tulisan ini menggunakan metode sejarah ex-post factum sehingga sumber sejarah bisa ditelusi melalui wawancara dari para pelaku sejarah. Penulis juga menggunakan konsepsi dari Piere Nora terkait pengalaman dan memori mereka untuk melihat identitas yang digunakan dalam keseharian didua masa rezim. Bagaimana aktivitas ekonomi, bagaimana kultur yang harus dipaksa untuk sama dengan kultur masyarakat setempat, dan bentuk kebebasan setelah runtuhnya rezim orde baru. Dari sini nantinya bisa diliat tiap babak keseharian komunitas Tionghoa di Madiun yang membedakan dengan komunitas lainnya di Indonesia.
Temuan tulisan ini secara garis besar adalah upaya negosiasi yang dilakukan komunitas Tionghoa Madiun untuk mempertahankan eksistensinya dari rezim. Negosiasi ini teraktualisasi menjadi simbol-simbol, baik secara ekonomi, kultural, dan sosial.
Kata kunci: Komunitas Tionghoa; Madiun; Eksistensi; Rezim
ABSTRACT
This article was create to reconstruct the identity of appereance Tionghoa ethnic of Madiun after a regime change. The year 1966’s was a cultural marker for Thionghoa ethnic unification into Indonesian society. And 2000’s was Reformation regime, marker for Tionghoa ethnic freedom on daily life, with KH. Abdurrahman Wahid as a Tionghoa’ father symbolism.
This article use ex-post factum historical method, so historical evidence can be search with interview by historical actors. The author also use Piere Nora conception about experience and memories to see identity used of daily life into two regime. How about economic activities, how about culture coercion, and freedom forms after Orde Baru regime. From here we can see each parts in Tionghoa Ethnic Madiun daily life that distinguishes others.
This conclusion of this article is negotiate efforts by ethnic Tionghoa Madiun to defend its existence from regime. This existence it actualized became symbols, such as economic, culture, and social.
Keyword: Tionghoa Community; Madiun; Existence; Regime
Keywords
Full Text:
PDFDOI: http://dx.doi.org/10.30870/candrasangkala.v5i2.6378
Refbacks
- There are currently no refbacks.
View My Stats
Statistic Counter since April 2022
Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah (CJPS) ISSN: 2477-8214 (online) | ISSN: 2477-2771 (print)
Published by Department of History Education Universitas Sultan Ageng Tirtayasa in collaboration with Perkumpulan Program Studi Pendidikan Sejarah Se-Indonesia (P3SI) and Perkumpulan Prodi Sejarah se-Indonesia (PPSI)
Address: Jl. Ciwaru Raya No. 25, Sempu, Kota Serang, Banten 42117, Indonesia
Email: [email protected]
MAP OUR OFFICE: